Oleh:
Nama : Eko Budi Raharjo
NIM : 09410072
Kelas : 6 PAI F
Nama : Eko Budi Raharjo
NIM : 09410072
Kelas : 6 PAI F
A. IDENTITAS BUKU:
PARADIGMA
KEBUDAYAAN ISLAM; Studi Kritis dan Refleksi Historis
Karya : Dr. Faisal Ismail, M.A.
Penerbit :
Titian Ilahi Press
Tahun : 1996 (Nopember)
Cetakan : Pertama
Kota : Yogyakarta
Tebal Buku : 202 Hlm/289
Hlm(total); 21,5 cm
ISBN : 979-9019-00-1
B. ISI BUKU:
Bagian
Pertama
ISLAM
DAN KEBUDAYAAN DI INDONESIA
1.
Potret kebudayaan islam di Indonesia
a.
Potret Ummat Islam di Mata Rendra
Dramawan, penyair dan budayawan terkenal W.S. Rendra, pada tahun
1971 memberikan orasi (“khutbah”) kebudayaan dimasjid IAIN Sunan Kalijaga
Yohyakarata, memenuhi undangan panitia peringatan Isara’ Mi’raj Nabi Muhammad
saw. Kampus setempat. Rendara dalam ceramahnya, mencoba mengungkapkan tiga poin
penting, yakni:
Pertama, ummat islam tidak hadir secara fungsional dalam tata kehidupan
masyarakat. Kedua, ummat Islam seakan-akan bukan sahabat kemanusiaan
lagi. Ketiga, ummat Islam cenderung menjadi masyarakat tertutup.
Tiga poin itulah yang penting untuk dicatat agar menjadi bahan
renungan dan introspeksi, menjadi bahan pemikiran yang serius, bagaimana ummat
Islam dapat meletakkan dirinya pada proporsi dan posisi sebenarnya sehingga
ummat Islam bisa hadir secara fungsional dalam tata kehidupan masyarakat.
b.
Fanatisme Mazhab: Biang Krisis
Adanya perbedaan faham/pendapat tentang masalah-masalah furu’
merupakan tanda adanya keleluasaan dan kemerdekaan berfikir dalam islam, sejauh
tidak menyimpang dari masalah prinsip yang essensial dari ajaran islam.
Adalah tidak tepat dan tidak bijaksana apabila menyesalkan kenapa
mazhab itu harus ada. Karena hal itu merupakan realitas yang hidup, yang
berlangsung sampai hari ini, yang merupakan bukti dan indikasi nyata dari
adanya keleluasaan dan kebebasan berfikir dalam Islam, inipun sekali lagi
terbatas pada masalah-masalah furu’ (kecil). Adalah wajar apabila banyak orang
mengikuti mazhab tertentu, sebab tidak semua orang mempunyai kemampuan
berfikir, kemampuan berijtihad, karenanya ia mengikuti saja salah satu mazhab
yang dianggapnya cocok dan sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan dan dasar
pokok Islam.
c.
Kebudayaan Islam di Indonesia: Nol Besar
Barangkali yang menjadi penyebab pokok adalah umat islam kurang
menaruh respek terhadap masalah-masalah kebuadayaan pada umumnya. Antusiasme
ummat Islam terhadap persoalan-persoalan kultural hampir dapat dikatakan “Nol
Besar”.
Rangsangan dan pengaruh tidak baik dari kenudayaan Barat itu
semakin memperlihatkan arus desakan bertubi-tubi dan dahsyat, sehingga dapat
merebut sebagian besar penggemarnya di kalangan anak-anak muda Islam.
Begitulah pengaruh negatif kultur Barat itu, sehingga banyak
kalangan, terutama anak-anak Islam, terjangkit penyakit mental “keblinger
tafsir”: bahwa apa yang datang dan berasal dari Barat adalah “modern”, segala
yang datang dan berasal dari Barat adalah “baik”. Maka untuk mengatasi ekses-ekses negatif diatas, menjadi tugas dan
tanggung jawab para pendidik Islam, naik melalui pendidikan formal maupun
informal, untuk mengubah dan meluruskan sikapdan cara berfikir anak-anak Islam
seperti itu sehingga diharapkan mereka akan menjadi muslim seutuhnya.
d.
Ibadat, Imaji dan Kebudayaan
Aspek lain yang menjadi penyebab krisis kebudayaan Islam di
Indonesia adalah adanya anggapan yang keliru di sementara kalangan ummat Islam
yang mengasosiasikan Islam hanya sebagai “ibadat” saja dalam pengertiannya yang
sempit dan dangkal. Karena selama ini imajinasi dan wawasan tentang Islam hanya
diasosiasikan secara sempit (ibadat saja) oleh Ummat Islam sendiri, maka
aktivitads kebudayaan kurang mendapat perhatian secara sungguh-sungguh.
2.
Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Islam
Senada dengan himbauan Baswedan, Abul A’la al-Maududi juga
menyerukan agar dilancarkan gerakan kebudayaan Islam. Maududi menyerukan kepada
seluruh dunia Islam untuk menghidupkan kembali kebudayaan dan peradaban Islam.
a.
Pembaharuan Pendidikan Islam
Ada baiknya kelemahan dan kekurangan dunia pendidikan Islam di
Indonesia disadari, di samping menaruh harapan-harapan atas hasil-hasil yang
telah dicapai selama ini. Menyadari keadaan ini, maka pembaharuan sistem pendidikan Islam
harus juga ditujukan untuk mengatasi kelemahan. Pembaharuan pendidikan Islam
harus berlaku dari pendidikan Islam tingkat dasar, menengah, dan tingkat tinggi
dalam suatu bangunan sistem pendidikan yang terpadu, sehingga terlihat adanya
kontinuitas pelaksanaan jenjang-jenjang pendidikan yang dicita-citakan.
b.
Perguruaan Tinggi Islam dan Perubahan Masyarakat
Corak dari Universitas dan perguruan Tinggi Islam yang ada sekarang
ini akan ikut menentukan bobot kwalitas pemikiran generasi muda Islam yang akan
datang. Oleh karena itu lebih daripada mengajarkan hal-hal yang baru maka
universitas dan perguruan tinggi harus juga mengajarkan hal-hal berikut:
-
Prinsip-prinsip perubahan masyarakat.
-
Menumbuhkan berpikir secara kritis di kalangan mahasiswa.
- Menimbulkan optimisme di kalangan mahasiswa dengan menyadarkan
bahwa ia adalah orang yang cakap dan mempunyai hari depan yang baik.
-
Mengajarkan method of approach, cara-cara untuk memecahkan
suatu masalah.
- Menanamkan disiplin intelektual, berpikir secara konsisten, dan
memiliki integritas pribadi, hingga dengan demikian ia sanggup menghadapi
masyarakat-masyarakat yang lebih banyak apabila mereka nanti meningglkan bangku
kuliah.
-
Mengajarkan dan mengantarkan mahasiswa mencintai buku.
Dengan demikian, pada gilirannya perguruan tinggi Islam dan
pendidikan Islam dapat menangkap makna gejala pembaharuan. Inilah harapan yang
barangkali dikehendaki Alamsyah Ratuperwiranegara saat masih menjabat Menteri
Agama RI.
c.
Cendekiawan Islam dan Pembaharuan Pendidikan
Perguruan tinggi Islam dalam melaksanakan pendidikan harus
berorientasi pada pengembangan kreativitas, intelektualitas dan ketrampilan
yang dilandasi keluhuran moral, watak dan kepribadian. Ia berusaha melatih para mahasiswa untuk leih bersifat direktif,
mendorong mereka agar selalu berupaya maju, kreatif dan berjiwa membangun. Jika usaha dan upaya pembaharuan pendidikan Islam bermula dari
gagasan dan pemikiran, maka gagasan dan pemikiran pembaharuan pendidikan Islam
harus dicetuskan oleh kaum cendekiawan dan sarjana Islam.
d.
Muhammadiyah, Pendidikan dan Kebudayaan
Adalah benar pendapat yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan
kunci kemajuan. Semakin baik kualitas pendidikan yang diselenggarakan suatu
masyarakat/bangsa, maka semakin baik pula kualitas masyarakat/bangsa tersebut.
e.
Pendidikan Muhammadiyah
Dilihat dari satu sisi, Muhammadiyah telah ikut menyumbangkan darma
baktinya yang berharga kepada perkembangan pendidikan nasional. Peranan ini
sangat penting dan strategis, mengingat terbatasnya daya tampung sekolah dan
perguruan tinggi negeri.
f.
Peningkatan Kualitas
Tuntutan-tuntutan terhadap pengembangan dan peningkatan
intelektualitas sebagai ciri penting kehidupan akademis selalu menantang
perguruan-perguruan tinggi Muhammadiyah. Benar bahwa selami ini Muhammadiyah
telah cukup banyak memiliki kaum intelektual, tetapi tuntutan untuk
mengembangkan dan meningkatkan kualitas ini diharapkan tidak berhenti.
g.
Muhammadiyah, Wahabisme dan Kebudayaan
Faham Wahabi menyiratkan corak puritanisme Islam. Muhammad Abdul
Wahab sendiri oleh sebagian penulis dipandang sebagai salah seorang pembaharu
dalam Islam. Ia dipandang sebagai reformer bukan karena mengajukan
pemikiran-pemikiran dan interprestasi baru tentang Islam, akan tetapi karena ia
tampil sebagai penyeru yang konsisten (agar masyarakat Islam kembali kepada
al-Qur’an dan Hadits). Gerakan Wahabi menolak segala sesuatu yang dilihatnya
sebagai religious innovation (bid’ah), tahyul dan khurafat.
h.
Dahlan dan Wahabisme
Dialog intens Dahlan dengan ide dan pemikiran-pemikiran Wahabi dan
kaum pembaharu Islam Timur Tengah lainnya seperti Jamaluddin al-Afghani daan
Muhammad Abduh mendorongnya untuk melakukan pembaharuan Islam lewat
Muhammadiyah di Indonesia.
i.
Defensif
Muhammadiyah dalam banyak hal sering bersikap defensif terhadap
praktek-praktek tradisi dan adat budaya setempat. Sikap seperti ini merupakan
refleksi dan konsekunsi logis dari watak dasar faham keagamaan Muhammadiyah
yang puritan. Puritanisme telah menjadi watak dasar Muhammadiyah.
3.
Kritik atas Pemikiran Kebudayaan Gazalba
Bagi para pengamat masalah kebudayaan di Indonesia, kususnya di
kalangan ummat Islam, hampir dapat dipastikan mereka mengenal nama Sidi
Gazalba. Menurut penilaian Takdir, Gazalba dengan segala kemungkinan
perkembangan potensi kecerdasannya telah ikut memberikan sumbangan sangat
berharga dan bernilai bagi dunia pemikiran kebudayaan.
a.
Tersebar Selama Puluhan Tahun
Ide Gazalba tentang “Islam adalah agama dan kebudayaan” sudah
tersebar selama puluhan tahun (sudah 30 tahun), bahkan buku-bukunya yang memuat
ide tersebut sempat menjadi literatur di Universiti Kebangsaan Malaysia, dan
banyak orang, terutama kalangan pelajar / mahasiswa dan orang awam nampaknya
“menerima” ide Gazalba itu.
b.
Kebudayaan Islam Bagian dari Din Islam?
Dalam bukunya, Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu (buku I),
Gazalba berpendapat, bahwa agama Islam dan kebudayaannya itu setingkat dan
masing-masing merupakan bagian dari Islam. Ada hal yang perlu didiskusikan dari pemikiran-pemikiran Gazalba
mengenai Din. Yaitu, Gazalba membedakan dan memahami bahwa din lebih
luas dari agama, karena ia mengatakan bahwa agama Islam merupakan bagian dari din
al-islam. Untuk menyanggah pendapat Gazalba tersebut, penulis mengutip
pendirian Endang Saifuddin Anshari yang mengatakan bahwa agama dan din walaupun
masing-masing mempunyai arti etimologis sendiri-sendiri, namun dalam arti
teknis-terminologis ketiga istilah tersebut mempunyai inti makna yang sama.
Tegasnya, menurut Anshari, agama (Indonesia) = din (Arab) = religie
(Belanda) = religion (Inggris).
c.
Agama dan Kebudayaan Membentuk Din?
Sepanjang pemahaman saya, ibadat khas tidak dapat disebut agama,
ibadat khusus bukan agama. Ibadat khusus adalah ibadah khusus, dan ia merupakan
aspek dasar dari agama (din). Para sarjana Islam tidak pernah
berpendapat bahwa ibadat khusus adalah agama. Pendapat seperti itu baru muncul
setelah Gazalba mengumumkan idenya bahwa “Islam adalah agama dan kebudayaan”,
atau “agama dan kebudayaan membentuk din”.
d.
Syari’at dan Kebudayaan
Aplikasi ajaran Islam, baik mengenai hubungan manusia dengan tuhan
dan hubungan manusia dengan manusia, dapat menimbulkan dan membentuk kebudayaan
dalam masyarakat pendukungnya. Tetapi ajaran islam itu sendiri, termasuk yang
mendengan manusia, seperti nikah, talak, rujuk dan faraid, bukan, merupaakam
unsur-unsur kebudayaan.
e.
Hablum-minan-nas
Hubungan manusia dengan manusia sebagai salah satu pokok ajaran
islam, senantiasa tidak ada perubahan dan pembaharuan. Sebagai buktinya kita
ambil contoh tentang syari’at islam yang mengatur tentang perkawinan, talak,
pembagian warisan atau jinayat, yaitu hukum-hukum tentang pidana seperti
mencuri, berzina, mabuk, mendakwa berzina, pembunuhan, dan lain sebagainya.
Hubungan manusia dengan manusia sebagai salah satu pokok ajaran islam tidak ada
perubahan dan pembaharuan, walaupun masyarakat dan kebudayaan berubah dan
berkembang.
Bagian Kedua
KEBERIMANAN
DAN KEBERSENIMANAN
1.
Agama dan Kesenian
Ummat Islam kurang menaruh respek terhadap masalah-masalah kesenian
sebagai akibat dari produk pandangan sebagian ulama di masa penjajahan yang
mengintroduksi suatu fatwa bahwa meniru-niru segala yang berbau adat istiadat
kaum penjajah itu hukumnya haram. Pandangan dan fatwa semacam itu cukup efektif
dan bisa diterima pada masa penjajahan dalam rangka konfrontasi total para
ulama dan ummat islam terhadap penjajah dalam usaha ikut mengusir kaum penjajah
dari bumi Indonesia. Namun, visi seperti itu perlu diubah dan diluruskan pada
masa kini, bahwa seni budaya tidak dapat dilepaskan dari ajaran agama, yang
wajib dikembangkan sesuai dengan jiwa dan nilai agama dan tanpa perlu melucuti
prinsip-prinsip agama itu sendiri.
2.
Posisi Kesenian Islam Kontemporer
Kesenian ummat Islam berjalan dan hidup secara tradisional, itu-itu
juga, mandeg sehingga kurang menarik minat dan selera dikalangan angkatan muda.
Kemudian seni budaya ummat islam juga kurang kreatif-inovatif dan variatif,
ketinggalan dalam bobot dan kualitas. Kedua kemungkinan itulah yang menjadi
penyebab utama mengapa sebagian generasi muda islam lebih menyenangi kebudayaan
barat dan kurang menyenangi seni budaya islam.
Sebagai teraphi dari gejala ini, sudah waktunya bagi ummat Islam
terutama seniman dan budayawannya menciptakan kreasi, inivasi dan varian baru
seni budaya Islam medern yang memenuhi standar kualitas estetika.
3.
Seniman, Imajinasi dan Tuhan
Untuk menjadi seorang seniman, tidak perlu melepaskan dan
mencampakkan agama. Karena dalam setiap agama (apalagi Islam) jelas mengandung
nilai-nilai dan kualitas seni (kesenian). Dalam agama Islam misalnya, orang
tidak diharamkan mengembangkan seni budaya, bahkan Islam dengan
ajaran-ajarannya selalu mendorong dan memberikan motivasi kuat untuk
menumbuhkan dan mengembangkan sesuatu yang berguna bagi pengembangan dan
pengukuhan spiritualitas semacam seni budaya ini.
Seniman menuntut kebebasan imajinasi dalam mencipta. Namun tidak
semua hsil imajinasi dalam karya seni itu dapat kita terima, karena imajinasi
itu adalah hasil daya khayal manusia beaka, kadang-kadang bermain dan menteruak
dari bawah sadar. Dan hasil imajinasi itu tentu tidak mutlak kebenarannya.
Bagian Ketiga
ISLAM,
MORALITAS DAN MODERNITAS
1.
Islam dan Gemerlap Dunia Mode
Para perancang mode pakaian selalu cenderung untuk
"memodernisir" potongan pakaian sesuai dengan keinginan para
desainernya maka diciptakanlah pola-pola menarik sesuai dengan selera dan
kreativitasnya, sebagai refleksi dari keadaan masa yang dialami dan yang
didahuluinya. Hal ini dapat kita lihat betapa pesatnya perkembangan metode itu,
setiap saat ada saja kreasi-kreasi baru yang dengan sekejap mata telah merata.
2.
Moralitas Islam vs "Moralitas Baru"
Sekiranya ummat manusia menerima sistem moral Islam dan
mempergunakannya dalam segala aspek kehidupan manusia, maka orang tidak akan
selalu hingar bingar diributkan oleh persoalan-persoalan kriminal, serta segala
bentuk permissiveness dari apa yang disebut moralitas baru itu. Karena
Islam menghendaki bahkan menindas segala kemungkaran dan terus menerus
menegak-laksanakan ma'rufat menuju citra ktinggian, kelestarian dan
keluhuran moral.
3.
Islam, Modernisasi dan Manusia Modern
Kata modernisasi seringkali dipakai dan mengambil tempat yang tetap
dan luas di kalangan masyarakat, barangkali setelah Orde Baru muncul
menggantikan Orde Lama.
Sesungguhnya untuk menjadi modern orang tidak perlu mengadaptasi
gaya hidup Barat. Untuk menjadi modern juga tidak perlu mengambil alih cara
hidup Barat. Namun dapat melakukan pembaruan yang bersifat inovatif dan ia
membedakan dirinya dari manusia tradisional dan lebih maju hidupnya kearah yang
tentunya lebih baik, serta berfikir kearah masa depan.
Bagian Keempat
ISLAM
DAN KEBUDAYAAN GLOBAL
Antara abad 8-13 masehi pengaruh dan perubahan yang dibawa Islam
telah merombak wajah kultural dunia menjadi suatu identitas keislaman dalam
segala aspek kehidupan sosial dan kebudayaan manusia. Bahkan kebudayaan dan peradaban
Islam menjadi barometer dan ukuran kemoderenan bagi bangsa-bangsa terutama di
Eropa pada waktu itu.
Situasi yang melatarbelakangi dunia dewasa ini memang memungkinkan
Islam untuk hadir dan tampil kembali. Barat dan kebudayaannya dnilai akan
tamat, sementara itu akan muncul peradaban yang baru yang bercorak keagamaan
ideal. Dalam kurun semacam itu, yang dilatar belakangi dengan semakin
merosotnya dominasi Barat, suatu harapan terbentang di hadapan Islam untuk
mewarnainya, membangun tatanan budaya dan kejayaan yang baru.
C. KELEBIHAN BUKU
C. KELEBIHAN BUKU
Buku ini menurut saya memiliki kelebihan dalam halnya memberikan paradigma
terhadap budaya Islam; seperti apa kebudayaan Islam kebudayaan, bagaimana memaknai
kebudayaan-kebudayaan Islam. Juga memberikan dorongan untuk ummat Islam agar inovatif
dalam melestarikan serta mengembangkan budaya Islam. Buku ini juga kritis dan lugas
dalam membandingkan (dengan budaya lain) serta berpendirian dalam hal mempertahankan
dan mengembangkan kebudayaan Islam.
D. KELEMAHAN BUKU
D. KELEMAHAN BUKU
Buku ini memiliki sedikit kelemahan jika dijadikan rujukan terhadap
masalah-masalah baru seperti masa-masa sekarang (2012) karena masalah yang diangkat
merupakan sudah menjadi masalah-masalah lama. Mungkin buku ini akan lebih baik jika
dilakukan revisi terhadap masalah-masalah baru seperti saat ini, dan lebih dispesifikan
permasalahan-permasalahannya. Serta mungkin akan lebih sempurna juga, jika mau mengangkat
masalah dari masa lalu, itu dengan menyinggung kebudayaan Islam di Indonesia pada
masa-masa kerajaan Islam di Indonesia.
2 komentar:
Muhammad Abdul Rozak
buku itu emang bagus, tapi tidak semua orang menjadi berubah pikiran secara total apabila membaca buku tersebut...
karena pemahaman dan keinginan dan usaha untuk mencari ilmu islam dan perubahan dari islam itu yang terpenting....
bagaimana cara kita untuk memaksimalkan potensi rasio kita untuk mengembangkan kebudayaan asli Islam yang sesuai dengan keadaan masyarakat yang notabene modern...
mari kita renungkan,,,
muhammad alfian (09410080) :)
Posting Komentar