Nama : Shanti Sundari
Nim/
sem/kelas : 09410208/VI/ PAI-F
No
absen : 31
Identitas
buku
Judul : Paradigma Kebudayaan Islam
(Studi Krisis dan Refleksi Historis)
Pengarang : Dr. Faisal Ismail, MA
Penerbit : Yogyakarta, Titian Ilahi Press
Tahun
Terbit : 1996
Jumlah
Hal : 202 halaman; 21,5 cm
ISBN : 979-9019-00-1
Buku karangan Faisal Ismail yang berjudul Paradigma Kebudayaan
Islam dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama terbagi kembali dalam tiga
sub bab yaitu potret kebudayaan islam di Indonesia, strategi kebudayaan dan
pembaharuan pendidikan Islam serta kritik atas pemikiran kebudayaan Gazalba. Bagian
awal ini membahas tentang keadaan kebudayaan Islam di Indonesia hingga strategi
yang digunakan dalam kebudayaan Islam sampai akhirnya membahas hasil pemikiran
kebudayaan Gazalba.
Dramawan, penyair, dan budayawan terkenal W.S Rendra berpendapat
mengenai kondisi umat Islam pada tahun 1971. Ada tiga pokok pembahasan yang
dikemukakan oleh Rendra, yaitu umat Islam tidak hadir secara fungsional dalam
tata kehidupan masyarakat, umat Islam seakan-akan bukan sahabat kemanusiaan,
dan umat Islam cenderung menjadi masyarakat tertutup. Pada intinya umat Islam
dituntut untuk bisa menempatkan diri pada posisi yang tepat sehingga umat Islam
hadir secara fungsional dalam tata kehidupan masyarakat. Umat Islam harus mampu
untuk dijamah dan dikritik bukan lagi dianggap sebagai dewa, dan harus menjadi
sahabat manusia lagi. Kondisi umat Islam tidak hanya sampai pada realita yang
dipaparkan diatas, tetapi juga banyaknya mahzab yang muncul. Tak perlu disesali
adanya mahzab hanya saja sikap tertutup yang mengklaim kebenaran ajaran mahzab
tertentu yang dianggap cocok.
Hal ini dimanfaatkan rezim/ penjajahan dalam kritis politik “devide
et impera” sehingga umat Islam tidak dapat mengembangkan kebudayaan Islam
karena terlalu sibuk dengan pertentangan-pertentangan kecil yang sepele. Di
Indonesia kondisi ini dapat dikatakan semakin parah, banyak kaum muda yang
mulai terlena dengan kebudayaan bangsa barat. Banyak anak muda Islam yang
menganggap lebih modernis dari pada kaum Islam orisinal. Tak ada pengembangan
budaya Islam secara menyeluruh, bahkan kreativitas yang ada selama ini ternyata
kurang memiliki andil moral.
Situasi demikian memerlukan pemecahan. Salah satu cara yang penting
dilakukan adalah melakukan kajian ulang terhadap strategi kebudayaan; mengkaji
ulang sistem pendidikan (tatanan dan proses belajar mengajar) secara menyeluruh
dan komprehensif sejak dari pendidikan dasar sampai pada tingkat perguruan
tinggi. Sudah saatnya budayawan Islam untuk menyusun “strategi kebudayaan”
dalam merencanakan arah dan masa depan kebudayaannya, yang memungkinkan
terciptanya amal-amal kultural dan karya-karya budaya. Strategi kebudayaan
haarus mampu menggerakkan daya kreatif dan daya potensial umat dalam warna dan
arti bagi kebangkitan kembali Islam dan umatnya. Strategi kebudayaan dalam suatu
segi harus bermakna dan berintikan pembaharuan pendidikan Islam karena
pendidikan merupakan sub sistem dalam keseluruhan satuan budaya. Pembaharuan
pendidikan Islam sangat diperlukan untuk mempertajam daya pikir dan mengasah
intelektual sehingga ketika kaum muda Islam selesai merampungkan pendidikan
Islam mulai dari dasar sampai tingkat perguruan tinggi diharapkan tidak hanya
menjadi beban masyarakat tetapi perlu melakukan perubahan masyarakat dengan
mengamalkan ilmu-ilmunya untuk pengembangan kebudayaan yang nantinya menjadi
misi suci sejarah umat dimasa depan.
Mereka juga melakukan pembaharuan kebudayaan sesuai dengan dinamika
perubahan masyarakat. Pendidikan merupakan kunci kemajuan dalam segala bidang,
salah satunya kebudayaan. Bagian ini diakhiri dengan sebuah studi kritik
terhadap tesis kebudayaan yang diajukan Gazalba. Ada pemikiran kebudayaan
Gazalba yang tidak disetujui oleh penulis, yaitu “Islam adalah agama dan
kebudayaan”.
Bagian kedua ini merupakan refleksi “pengalaman” bergaul penulis
dengan seorang seniman. Bagian ini membahas mengenai subordinasi kesenian
kepada agama dan akibat-akibatnya. Ada dampak positif dan negatif yang
ditimbulkan. Menurut Kuntowijoyo, Indonesia akan mengalami kemacetan kesenian
Islam. Hal ini bisa disebabkan karena alasan yang diuraikan pada bagian
pertama, selain itu juga doktrin dari para ulama masa penjajahan yang
mengeluarkan suatu fatma kalau meniru budaya penjajah adalah haram. Alasan yang
kedua ini mungkin cocok pada masa itu untuk mengusir penjajah tetapi alasan ini
sudah tak efektif lagi untuk masa sekarang.
Namun perlu kewaspadaan kaum muda muslim dalam menanggapi
kebudayaan barat akan akibat negatif yang akan ditimbulkan. Ada dua
kemungkinan,yaitu kesenian umat Islam berjalan dan hidup secara tradisional,
itu juga stagnan sehingga kurang menarik minat dan selera dikalangan angkatan
muda, atau seni budaya umat Islam kurang kreatif-inovatif dan variatif,
ketinggalan dalam bobot dan kualitas. Dua alasan itulah yang mungkin
menyebabkan generasi muda islam telah menyebrangi kebudayaan barat sehingga
kurang menyenangi seni budaya Islam. Perlu adanya peringatan keras akan dampak
negatif yang ditimbulkan, namun perlu juga adanya wadah untuk menyalurkan
ide-ide kreatif sebagai bentuk merekontruksi seni budaya Islam.
Pembahasan dalam buku ini pada bagian kedua dilengkapi dengan
sebuah diskusi tentang cara seorang
seniman muslim yang menfsirkan Tuhan, bahkan personifikasi Tuhan menurut daya
khayal seorang seniman. Seorang seniman bisa dikatakan bebas dalam hal “teknis-kreatif”
bukan berarti dia bebas untuk keluar dari aturan agama yang dianggap hanya
membelenggu kehidupannya.
Seniman mempunyai hak akan kebebasan berimajinasi tetapi yang
menjadi pertanyaan, sampai manakah batas kebebasan itu. Seorang seniman tidak
bisa bebas melakukan imajinasi dengan personifikasi Tuhan dan Nabi seperti yang
dilukiskan dalam cerita “langit makin mendung” karena pada dasarnya seniman
juga harus bisa menghargai keyakinan, kepercayaan dan akidah orang lain karena
mau tidak mau seniman pun hidup ditengah masyarakat dengan taraf – latar
belakang kepribadian, adat istiadat, kebudayaan dan akidah yang menjadi pola
anutannya. Dalam ajran Islam pun Tuhan dan Nabi dilarang untuk
dipersonifikasikan dan diimajinasikan.
Selanjutnya pada bagian ketiga mendiskusikan tentang Islam dalam
kaitannya dengan modernitas dan moralitas. Modernitas ini melalui jalur model
pakaian, banyak dari kaum muda yang memaksakan pakaian yang tak dilihat cocok
atau tidak hanya karena alasan agar modern. Trend model pakaian ini mewabah
hingga pinggiran desa tidak hanya kota dengan banyaknya diadakan acara fashion
show atau kontes kecantikan. Memang benar Islam tidak mengatur model pakaian
karena model pakaian ini merupakan hak cipta manusia. Sesuai dengan hadits
Rasulullah SAW,
“jika ada urusan agamamu (yang tidak kamu ketahui) tanyakanlah
kepadaku; jika ada urusan duniawi, maka kamu lebih mengetahuinya” (H.R Muslim)
Urusan duniawi dalam hal menciptakan model pakaian, Islam tidak
bersifat kaku, melainkan membebaskan kreatifitas membuat pakaian asalkan tidak
keluar dari batas-batas moral Islam. Moralitas Islam bersumber pada wahyu Allah
yang mutlak dan absolut kebenarannya, maka mamiliki kemutlakkan dan kelengkapan
susunan moral yang sempurna. Islam memberikan sumbangan etika kepada manusia
yang pada akhirnya membawa umat manusia kepada kehidupan yang damai, aman dan
sejahtera sepanjang masa dalam seluruh segi kehidupan spiritual dan material di
dunia dan di akhirat. Modernisasi dalam Islam bukanlah pada peniruan pola hidup
barat, melaikan pemanfaatan pengetahuan dan teknologi barat.
Bagian keempat yang merupakan bab terakhir pembahasannya diawali
dengan sejarah kebudayaan Islam di Andalusia yang sampai akhirnya terjadi
kebangkitan kebudayaan barat. Antara pertengahanabad 8 hingga permulaan abad 13
M, umat Islam pernah mencapai puncak kejayaan. Selanjutnya pada akhirnya
kebudayaannya runtuh, estafeta kepeloporan di bidang ilmu pengetahuan dan
kebudayaan beralih ke tangan barat. Maka Islam dan umatnya perlu melakukan
gerakan revivalisme dan reformisme sebagai basis spiritual untuk menopang
proses akselarasi terjadinya kebangkitan kembali Islam dan umatnya.
0 komentar:
Posting Komentar