Review Buku
Nama : Ridwan Nur Kholis
NIM : 09410056
Ijtihad
Progresif Yasadipura II “Dalam Akulturasi Islam dengan Budaya Lokal”
Dr.
Hj. Sri Suhandjati Sukri
Buku dengan judul “Ijtihad
progresif Yasadipura II dalam Akulturasi Islam dengan Budaya Lokal” ini
membahas mengenai wujud akulturasi budaya yang digagas oleh Yasadipura II dalam
Serat Sasanasunu untuk menyinergikan
ajaran Islam yang berdasarkan tauhid dengan tradisi Jawa Keraton yang banyak
bernuansa klenik.
Sebagai individu, Yasadipura II telah mengenal Islam
sejak masih kecil dari keluarganya maupun dari pondok pesantren. Sebagai orang
yang dibesarkan di lingkungan Keraton, Yasadipura II adalah pendukung budaya
dan kesenian jawa. Pertemuannya dengan pendukung-pendukung budaya islam
terutama sewaktu di pesantren Gebangtinatar menyebabkan terjadinya penyerapan
unsur-unsur kebudayaan islam dalam pemikiran Yasadipura II. Unsur kebudayaan
Islam itu diterima, diolah dan dipadukan dengan budaya jawa. Sebagai pujangga
keraton, Yasadipura II mempunyai tugas melestarikan budaya jawa. Karena budaya
islam telah tersebar di masyarakat dan tidak dapat dielakkan terjadinya
pertemuan dengan unsur budaya jawa, maka perubahan kebudayaan yang dikonsepkan
Yasadipura II adalah yang masih dapat menjaga Identitas budaya (kesenian) jawa,
yakni dengan Akulturasi.
Salah satu contoh karya
seni sastra jawa yang telah berakulturasi dengan ajaran agama islam adalah Serat
Bratasunu dan Serat Sasanasunu.
Dalam karyanya itu, Yasadipura
II (Bratasunu, pupuh 4, bait 11-12) menyebutkan waktu-waktu terkabulnya doa,
yaitu di tengah malam, dengan permohonan yang didahului dengan taubat. Hal ini
diambil dari ajaran islamyang terkait dengan waktu dan cara melakukan shalat
Tahajjud, namun dalam bratasunu tidak disebut secara eksplisit anjuran salat
Tahajjud. Berbeda dengan tulisannya dalam serat Sasanasunu (pupuh 7, bait 4-5)
secara jelas mengemukakan pelaksanaan shalat tahajjud.
Buku ini menawarkan cakrawala baru untuk memahami ajaran
Islam. Dengan cara demikian, maka nilai-nilai
ajaran agama islam akan semakin dipahami oleh masyarakat jawa. Namun sebenarnya
ajaran agama islam tidak hanya bisa diakulturasikan dengan kebudayaan atau
kesenian jawa saja tetapi juga bisa diakulturasikan dengan kebudayaan daerah
lainnya. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa bukan berarti
orang-orang yang hidup di lingkungan dan dalam nuansa Keraton, maka mereka
dianggap musyrik. Tetapi justru orang-orang muslim yang hidup di lingkungan dan
dalam nuansa keraton justru lebih kuat dalam berpegang teguh kepada ajaran
islam karena mereka telah mendapatkan cara/jalan yang lebih mudah untuk
memahami ajaran Islam.
0 komentar:
Posting Komentar