Rabu, 25 April 2012

Resensi Buku damar


Nama               : Damar Andy Wicaksono
NIM                : 09410280
Prodi               : VI PAI – F
Presensi           : 45


Judul Buku      : Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia
Penulis             : Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed.
Penerbit           : PT Remaja Rosdakarya
Tahun terbit     : Cetakan pertama, Agustus 1999
                          Cetakan Kedua, mei 2000
                          Cetakan Ketiga Oktober 2002
Tebal               : 245 halaman


Buku yang terdiri dari 9 bab ini, merupakan salah satu buku yang ditulis oleh Prof Dr HAR. Tilaar. Buku ini mengulas tentang proses pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia yang berbudaya Indonesia yang interaktif dan berkesinambungan dan konsentris artinya bahwa proses pendidikan itu berakar pada budaya bangsa dalam membawa manusia dan masyarakat Indonesia menuju ke dalam masyarakat madani Indonesia sehingga mampu memasuki pergaulan bangsa-bangsa di dunia yang terbuka  tanpa kehilangan jati diri. Kemudian dibahas pula mengenai hakekat pendidikan, hakekeat kebudayaan, berbagai kaitan antara pendidikan dan kebudayaan, beberapa teori dan persepsi mengenai hubungan antara proses pendidikan dan kebudayaan, dipaparkan pula tentang masyarakat madani Indonesia serta Proses Pendidikan untuk  masyarakat madani Indonesia.
            Seperti yang disebutkan dalam buku ini, proses pendidikan sebagai proses pemanusiaan berimplikasi di dalam interaksi antar manusia yang ada dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Interaksi tersebut terjadi di dalam lingkungan alam (ekologi) yang perlu dilestarikan serta lingkungan social (social, ekonomi, politk) yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Proses pembudayaan atau proses pemanusiaan tersebut juga harus memperhatikan factor pelestarian lingkungan alam, budaya dan kependudukan.
            Pada bab 1 buku ini berbicara tentang hakekat penidikan. Untuk lebih lanjut berikut sedikit penjelasan tentang hakekeat pendidikan pada bab I. Ketika berbicara hakekat pendidikan pasti tidak akan terlepas dari berbicara mengenai pengertian pendidikan itu sendiri. Banyak teori yang muncul mengani arti atau definisi tetntang pendidikan. Dan berbagai definisi tersesbut muncul dengan berbagai macam pendekatan yang digunakan. Pendekatan tersebut dapat dikategorisasikan ke dalam 2 pendekatan besar yaitu pendekatan reduksionisme dan pendekatan holistic-integratif.  Banyak teori pendekatan yang muncul dari pendekatan reduksionisme seperti pendekatan pedagogis, pendekatan psikologis, pendekatan negativis, pendekatan sosiologis. Selain itu, juga dijelaskan makna pendidikan menurut pandangan pendekatan holistic-integratif. Pendekatan ini melihat bahwa pendidikan sebagai suatu pengembangan manusia secara utuh. Dengan demikkian pendidikan harus melihat bahwa peserta didik memilikki potensi yang harus dikembangkan. Pengambangan potensi tersebut seharusnya diarahkan kepada perwujudan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan, sehingga dapat diartikan bahwa pendidikan adalah proses pembudayaan dan proses pembudayaan adalah proses pendidikan.
            Kemudian pada bab 2 berbiacara mengenai hakekat kebudayaan. Setelah pada bab sebelumnya berbicara tentang hakekat pendidikan yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan, selanjutnya bab ini menjelaskan tentang hakekat kebudyaan. Sperti definisi pendidikan yang begitu banyak, kebudayaan juga memiliki berbagai macam definisi yang dihasilkan dari beberapa pakar antropologi, sosiologi maupun ahli yang lain. Nah, pada bab ini HAR Tilaar mengambil salah satu rumusan definisi kebudayaan dari seorang tokoh yaitu Edward B. Taylor. Pemilihan definisi dari Edwar B. taylor dikarenakan rumusan ini dapat dijadikan sebagai titik-tolak analisis mengenai hakekat kebudayaan yang dapat digunakan sebagai titik-tolak untuk mengerti hakekat pendidikan. Definisi Taylor mengenai budaya adalah “suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta kemampuan-kemamapuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.”  Dari jalan pemikiran Edward B. Taylor tersebut HAR Tilaar menyimpulkan bahwa kebudyaan merupakan pengarah atau petunjuk dari proses humanisasi. Kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang kompleks yang terdiri dari beberapa nilai-nilai yang diakui bersama dalam masyarakat dan kebudayaan adalah normative. Dan proses pendidikan sendiri adalah proses yang normative. Selain pandangan Edwar B. Taylor mengenai kebudayaan dipaparkan pula pada bab ini mengenai pandangan Bapak Pembangunan Pendikan Nasional Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara. Dan sebagai penutup dalam bab ini HAR Tilaar menuliskan rumusan dari Koentjaraningrat untuk menunjukkan keterkaitan antara hakeket kebudayaan dan hakekat pendidikan. Rumusan Koentjaraningrat adalah bahwa “kebudayaan merupakan keseluruhan gagasan” dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.”
            Selanjutnya pada Bab 3 berbicara tentang Pendidikan dalam Kebudayaan sedangkan pada Bab 4 berbicara tentang Kebudayaan dalam Pendidikan. Sesungguhnya telah disebutkan di atas bahwa pendidikan dan kebudayaan memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Proses pendidikan adalah Proses pembudayaan begitu juga sebaliknya. Masuk pada Bab 3 dijelaskan bahwa Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam kebudayaan atau dengan kata lain bahwa Pendidikan tidak akan bisa dilepas dari kebudyaan, maka dalam dunia ilmu pengetahuan muncul apa yang dikenal dengan Antropologi Pendidikan. Peranan yang sangat nyata dari pendidikan dapat kita lihat dalam perkembangan kepribadian manusia. Dan perkembangan kepribadian tidak terlepas dari peranan kebudayaan itu sendiri. Dalam pengembangan kepribadian diperlukan kebudayaan dan kebudayaan akan dapat berkembang melalui perkembangan kepribadian manusia tersebut. Dalam suatu proses kebudayaan ada yang dinamakan dengan transmisi kebudayaan. Transmisi kebudayaan ini menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari. Proses ini yang kemudian menjadikan suatu budaya yang ada dalam masyarakat dapat dilestarikan oleh generasi sebelumnya atau juga bahkan dikembangkan oleh generasi berikutnya. Kemudian apa yang ditransimisi? Yaitu nilai-nilai yang ada di masyarakat, adat-istiada masarakat, kebiasaan masyarakat, dan pandangan-pandangan masyarakat  mengenai hidup dan konsep hidup lainnya. Antara pribadi dengan kebudyaan pasti terjadi interaksi. Dan hal ini menuntut seorang individu untuk menjadi manusia yang aktif dan kreatif bukannya pasif terhadap kebudayaan yang dimilikinya. Dan dalam proses pembudayaan tersebut akan muncul berbagai pengertian inovasi dan penemuan, difusi kebudayaan, asimilasi, akulturasi, focus, prediksi masa depan, serta banyak istilah lainnya. Melihat berbagai istilah tersebut yang ada dalam proses pembudayaan sudah seharusnya pendidikan nasional  menggeser paradigma, khususnya yang berkaitan dengan kebudyaan nasional. Paradigma tersebut harusnya lebih berorientasi kepada pengembangan potensi akal dan budi manusia. Dengan begitu akan terjadi interaksi antara individu dengan kebudayaan yang dimilikinya. Sehingga akan dapat mengembangkan nilai-nilai yang hidup dalam kebudayaan masyarakat Indonesia.
            Masuk ke bab 4 dipaparkan mengenai Kebudayaan dalam Pendidikan. Seperti yang sudah dijelaskan pada bab terdahulu bahwa kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari proses pendidikan. Begitu pun sebaliknya pendidikan tidak bisa lepas dari proses pembudayaan. Kalau berbicara mengenai Kebudayaan dalam Pendidikan sudah sepatutnya melihat ke konsep Taman Siswa yang dicetuskan oleh ki hajar dewantara. Karena beliau meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional yang berorientasi budaya.  Hal ini bisa dilihat dari pengertian pendidikan yang diungkapkan oleh beliau yaitu bahwa “Pendidikan beralaskan garis hidup dari bangsanya yang ditujukan untuk keperluan perikehidupan yang dapat menangkat derajat rakyat dan negaranya, agar dapat bersama-sama dengan lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.”  Kebudayaan merupakan dasar praksis pendidikan, oleh karenanya selain pendidikan harus berjiwakan kebudayaan nasional, pendidikan juga harus berasaskan semluruh unsure kebudayaan yang juga harus diperkenalkan dalam proses pendidikan. Dijelaskan pula pada bab ini, selain pandangan klasik taman Siswa tentang kebudayaan dalam praktek pendidikan, di sini juga dijelaskan pandangan kontemporer seperti pandangan Theodore Brameld yang menjelaskan kaitan antara proses pendidikan dan proses membudaya. Lembaga pendidikan dikatakan sebagai pusat kebudayaan. Dengan demikian, lembaga pendidikan, dalam hal ini sekolah, selain merupakan tempat mendapatkan ilmu juga merupakan tempat pengembangan nilai-nilai budaya secara intensif, inovatif, dan ekstensif. Selain pandangan klasik dan pandangan kontemporer, HAR Tilaar juga sedikit menjelaskan mengenai Pendidikan Budi Pekerti yang memiliki peran penting dalam pengembangan nilai-nilai dari kebudayaan. karena inti dari kebudayaan adalah nilai-nilai maka pendidikan budi pekerti disini, yang meliputi moral, akhlak, dan sebagainya, dinilai sangat penting karena akan sangat berkaitan dengan pengembangan budaya dalam masyarakat.  Sebagai penutup pada bab 4, bahwa paradigma yang sekarang ada menganai pendidikan sebaiknya kembali ke paradigma semula yaitu pendidikan yang mendasarkan kepada kebudayaan nasional.
            Pada bab 5 dan bab 6 selanjutnya HAR Tilaar memberikan pemaparan mengenai Pendidikan Kebudayaan dan Kebudayaan Pendidikan. Pada bab 5 mengenai Pendidikan Kebudayaan dijelaskan mengenai bagaiamana pendidikan Indonesia seharusnya dilaksanakan sehingga mampu menjadi sarana untuk mengmbangkan berbagai budauya nasional sehingga tidak akan punah. Tidak dapat dipungkiri bahwa suatu bangsa akan selalu memerlukan budaya nasional yang menjadi jati dirinya ketika bergaul dengan Negara lain. Begitu juga bagnsa Indonesia yang begitu banyak memiliki budaya yang harus dikembangkan dan dilestarikan khusunya melalui proses pendidikan nasional. Bukankah di dalam Undang-undang telah dijelaskan bahwa pendidikan nasional harus berakar  dari kebudayaan nasional? Oleh karenanya kebudyaan nasional harus terus dibina dan ditransimisikan sehingga bangsa Indonesia tidak akan pernah kehilangan jati dirinya. Selain itu dijelaskan pula, wujud  dan tujuan kebudayaan nasional harus dituangkan dalam kurikulum pendidikan itu sendiri. Dan juga perlunya pengembangan kebudayaan nasional melalui pendidikan nasional. Hal-hal tersebut dijelaskan dalam bab 5 buku ini. Sedangkan pada bab 6 pengeertia Kebudayaan Pendidikan merupakan suatu gagasan, konsep, yang mendasari praksis pendidikan. Di Indonesia sendiri, masih belum bisa lepas dari budaya pendidikan colonial yang masih bersifat intelektualisme dan verbalisme sehingga sampai dengan saat ini  berimplikasi kepada kebudayaan pendidikan yang mendewakan ijazah formal. Kebudayaan pendidikan seperti yang nanti bisa mematikan pendidikan nasional Indonesia. Selain berbicara menganai Budaya praksis Pendidikan di Indonesia dijelaskan pula tentang seperti apa pengelolaan atau budaya manajemen dan administrasi tehadap pendidikan nasional di Indonesia. dan dijelaskan pula seperti apa manajemen dan administrasi yang baik yang harus dilakukan oleh lembaga sekolah sehingga nantinya akan tercipta suatu budaya pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada intelektualisme dan verbalisme tetapi juga pada kebudayaan nasional sehingga peserta didik nantinya mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya dan dapat mengembangkan budaya yang ada di Indonesia.
            Bab 7 berisi mengenai Manusia Pendidikan dan Manusia Berbudaya. Sebenarnya banyak pakar yang mengartikan sama antara kedua istilah tersebut, begitu juga sebaliknya tidak sedikit pakar yang member pengertian yang berbeda antara kedua istilah tersebut. Dan Prof. HAR Tilaar termasuk salah satu tokoh yang memberikan pengertian berbeda terhadap kedua istilah tersebut. Manusia berpendidikan banyak diartikan sebagai manusia yang telah berkembang kemampuan intelektualnya karena pendidikan (sekolah). Sedangkan seseorang yang berbudaya adalah sesorang yang menguasai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai budaya, khususnya nilai etis dan nilai moral yang hidup dalam kebudyaan tersebut. Bisa saja ada orang yang berpendidikan tetapi tidak berbudaya. Pada bab ini selanjutnya HAR Tilaar berbicara mengenai seperti apa konsep manusia Indonesia. Mencari konsep manusia Indonesia tidak bisa dilihat hanya satu dimensi saja tetapi harus dari berbagai dimensi karena manusia merupakan makhluk yang bersifat multidimensional. meneliti manusia yang multidimensional tidak telepas dari melihat mengenai tujuan pendidikan yang dapat membentuk manusia tersebut. Prof HAR Tilaar mulai dengan menelusuri beberapa pendapat mengenai tujuan pendidikan dari beberpa ahli dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Mulaidari John Dewey, Whitehead, Ki hajar Dewantara, hingga rumusan tujuan pendidikan yang termaktub dalam Undang-undang RI tentang Sistem Pendidikan Nasional. Setelah menelusuri beberapa pakar maupun undang-undang RI untuk menemukan konsep manusia Indonesia yang berpendidikan sekaligus berbudaya, kemudian beliau merumuskan criteria seperti apa praksis pendidikan nasional sehingga dapat membentuk manusia yang berpendidikan sekaligus berbudaya. Criteria tersebut seperti berikut bahwa Praksis Pendidikan nasional haruslah dan perlu mengembangkan potensi intelektual manusia Indonesia secara umum, Pendidikan nasional berperan dalam mengembangkan potensi yang spesifi dari individu sesuai dngan potensi kepribadiannya, Pendidikan nasional harus dan erlu mengembangkan sikap sopan santun dalam pergaulan masyarakat, Praksis Pendidikan di semua lembaga adalah mengembangkan manusia Indonesia yang  bermoral dalam bertingkah laku yang bersumber dari kebudaayaan nasional, Praksis Pendidikan di semua jenis dan jenjang pendidikan harus perlu mengembangkan rasa kebangsaan Indonesia, rasa bangga menajdi orang Indoensia yang berbudaya kebangsaan Indonesia tanpa terperangkap dalam chauvinism yang sempit.
            Selanjutnya pada bab 8 adalah pembahasan Mengenai Masyarakat Madani Indonesia sedangkan pada bab terakhir yaitu pada Bab 9 adalah tentang Pendidikan untuk Masyarakat Madani Indonesia. Setelah pada bab-bab sebelumnya banyak membahas arti pentingnya pengembangan manusia yang berpendidikan sekaligus berbudaya, pad bab selanjutnya akan dibahas mengenai pentingnya manusia yang berkarakter seperti itu sehingga akan membentuk masyarakat Indonesia yang mampu bersaing, manusia yang modern, manusia yang berpikiran maju, dan menjadi manusia baru yang tidak meninggalkan kebudayaannya. Terlebih lagi ketika memasuki zaman globalisasi seperti sekarang ini yang tidak mengenal batas ruang dan waktu. Termasuk masyarakat Indonesia yang akan terpengaruh oleh arus globalisasi. Jika tidak, masyarakat Indonesia yang tidak berbudaya dan berpendidikan dipastikan akan hilang terseret oleh arus globalisasi tersebut. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, beragam, dan berbhineka. Dengan derasnya arus globalisasi dan tuntutan perkembangan zaman, maka pembentukan masyarakat madani dengan system nilai yang ingin diwujudkan tidak terlepas dari konfigurasi nilai-nilai yang terdapat dalam kebudyaan manusia. Masyarakat madani global yang ingin diwujudkan merupakan perwujudan dari masyarakat-masyarakat madani local yang berdasarkan kebudayaannya masing-masing. Selanjutnya dijelaskan tentang apa masyarakat madani itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut HAR Tilaar banyak melihat definisi dari pandangan beberapa tokoh dunia maupun dari berbagai macam pendekatan, hingga konsepe para ilmuan muslim seperti al farabi, al ghazali, ibn taimiyah, ibnu khaldun dan sebagainya. Masayarakat madani disepadankan denan istilah “civil society” yaitu mengacu pada masyarakat yang demokratis. Setelah menelusuri berbagai pandangan para tokoh terkemuka, kemudian HAR Tilaar menulsikan beberapa prinsip yang khas yang harus diperhatikan dalam membangun masyarakat madani Indonesia, cirri khas tersebut antara lain : kenyataan akan adanyan keragaman budaya Indonesia,  pentingnya adanya saling pengertia di antara sesame anggota masyarakat, toleransi yang tinggi antar sesame masyarakat, dan yang terakhir perlunya wadah kehidupan bersama yang diwarnai dengan adanya kepastian hukum.
Setelah mengetahui arti pentingnya masyarakat madani Indonesia dan karakteristik untuk membangun masyarakat madani, pada bab terkhir yaitu bab 9 dipaparkan lebih jauh mengenai Pendidikan untuk Masyarakat Madani Indonesia. seperti yang dijelaskan pada pendahuluan bab 9 bahwa sebenarnya secara definisi tidak ada pendidikan untuk masyarakat madani Indonesia. Pendidikan dalam masyarakt madani Indonesia tidak lain ialah proses pendidikan yang mengakui akan hak-hak serta kewajiban perorangan di dalam masyarakat. Selanjutnya oleh HAT Tilaar dijelaskan tentang beberapa strategi pembangunan pendidikan nasional Indonesia dalam rangka membangun masyarakat madani Indonesia, seperti : Pendidikan dari, oleh, dan bersama-sama masyarakat, Pendidikan didasarkan pada kebudyaan nasional yang bertumpu pada kebudayaan local, Proses pendidikan yang mencakup proses hominisasi dan proses humanisasi, Pendidikan Demokrasi yang menjadi tuntutan masyarakat madani Indonesia, kelembagaan Pendidikan, Desentralisasi manajemen Pendidikan nasional. Setelah pemaparan mengenai strategi Pembangunan Pendidikan Nasional, kemudian di jelaskan tentang Strategi Reformasi Pendidikan Nasional sebagai salah satu hal yang harus dilakukan karena reformasi penidikan merupakan seuatu hal yang harus dilakukan dalam pembentukan masyrakat madani Indonesia. setelah berbagai strategi tersebut diterapkan dan dapat menciptakan masyarakat madani Indonesia, maka hasil yang diharapkan dari terbentuknya masyarakat madani adalah tercermin dalam sikapnya seperti Sikap demokratis, Sikap toleran, Sikap pengertian, berakhlak tinggi, beriman, dan bertaqwa, serta menjadi manusia dan masyarakat yang berwawasan global.
Seperti itulah kurang lebih isi dari buku yang berjudul “Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia” yang ditulis oleh Prof. HAR Tilaar. Buku ini layak dan cocok untuk menjadi pegangan para pendidik maupun para calon pendidik maupun praktisi pendidikan yang sangat sering bersentuhan dengan dunia pendidikan. Buku ini akan membuka pandangan kita bahwa dalam pendidikan tidak akan pernah terlepas dari proses pembudayaan. Dengan begitu maka karakteristik masyarakat Indonesia, yang memang memiliki keragaman budaya, tidak akan pernah hilang atau musnah seandainya kita menyadari betapa pentingnya kebudayaan dalam proses pendidikan. Pun sebaliknya. Seorang pendidik hendaknya tidak hanya berorientasi pada intelektualitas atau verbalitas semata, tetapi juga harus berorientasi pada pengembangan kebudayaan masyarkat yang semakin lama semakin hilang bahkan banyak yang diklaim oleh Negara lain. Sudah saatnya paradigma pendidikan Indonesia yang hanya berorietasi pada peningkatan intelektual, bergeser ke pengembangan potensi-potensi manusia yang di dalamnya sarat dengan nilai-nilai budaya dalam masyarakat. Buku ini memberi banyak pandangan dan paradigma seperti apa seharusnya pendidikan dielola maupun di lestarikan. Selain itu sebagai calon pendidik, buku ini akan memberi gambaran mengenai seperti apa seharusnya membangun masyarakat yang demokratis, masyarakat yang berwawasan global tetapi tetap memiliki kearifan local, serta berakhlak mulia tanpa kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia yang berbudaya. Sebagai penutup, semoga sedikit tulisan ini memberikan pencerahan dan inspirasi serta manfaat bagi siapapun yang berkenan membacanya. Terima kasih.

Rabu, 18 April 2012

Resensi putra


Resume Pengembangan Seni dan Budaya dalam Islam

Disusun oleh
Nama    : Puput rahmat Saputra
NIM       : 09410281
Kelas     : VI PAI F

Deskripsi Buku
Judul buku          : Islam dan Kebudayan Jawa
Tebal Buku          : 312 halaman
Penerbit              : Gama Media
Tahun terbit       : 2000
Kota Terbit          : Yogyakarta
Pengarang          : Pusat kajian Islam dan Budaya Jawa IAIN Walisongo Semarang

Islam dan Kebudayaan Jawa

Masyarakat Jawa dikenal sebagai suku Jawa. Mereka yang berbahasa Jawa dan tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meliputi wilayah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri. Surakarta dan Jogjakarta merupakan dua bekas kerajaan Mataram dan pusat dari kebudayaan Jawa. Masyarakat yang kental unsure kekerabatan dan kesopanannya ini mempunyai Jiwa tolong menolong yang tinggi.
Islam datang ke Indonesia datang relative lambat dari kawasan lain, akan tetapi Islam lebih mudah diterima dengan baik oleh penduduknya. Terbukti 87,2 % penduduknya beragama Islam (sensus penduduk 1990).
                Islam masuk ke Jawa kurang lebih abad ke-7 Masehi. Dengan bukti diketemukan makam Fatimah binti Maemun di Gresik. Serta bukti peninggalan yang arkeolog temukan seperti masjid kuno, ragam hiasan tata kota dan sebagainya.              
Hal hal tentang Islamisasi di Pulau Jawa
Pertama, penduduk pulau Jawa waktu itu mayoritas memeluk agama Hindu dan bUdha, serta kepercayaan animism dan Dinamisme..
Kedua, Islamisasi besar besaran terjadi sekitar abad 15 dan 16 ditandai dengan jatuhnya majapahit, dan berdirinya kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa. Islamisasi besar besaran terjadi saat dunia Islam mengalami kemunduran dalam segala hal.
                Islam di Jawa disebarkan oleh beliau Walisongo dengan menggunakan pendekatan budaya. Sikap walisanga yang toleran terhadap kebudayaan asli penduduk Jawa semakin memudahkan penyebaran saat itu.
                Kata walisongo diambil dari penyebutan masyarakat yang memanggil 9 mubaligh. Sebelum islam masuk ke bumi Jawa mayoritas penduduk jawa menganut agama Hindu Budha dan animisme dan Dinamisme.
                Dengan pendekatan kebudayaan/ sikap toleran yang dilakukan walisanga dalam mengemban dakwahnya yang mana masyarakat Jawa begitu dengan mudahnya memeluk Islam tanpa ada kontra yang berarti. Hal ini dilakukan dengan cerdas oleh para wali, dakwah yang dilakukan tidaklah menimbulkan gejolak atau kontradiksi terhadap tatanan masyarakat saat itu. Traadisi dan kepercayaan lama tidak dihapuskan secara radikal dan frontal, tetapi yang dihilangkan adalah hal hal yang jelas bertentangan dengan unsure unsure ajaran Islam. Disinilah terjadi akulturasi dan sinkretisasi antara tradisi dan kepercayaan local di suatu pihak, dengan ajaran dan kebudayaan Islam di pihak lain. Jika diumpamakan sebuah botol minuman keras, minuman alkoholnya dibuang dan diganti dengan air yang menyegarkan. Jejak jejak tersebut dapat kita temui dimasyarakat Jawa saat ini, seperti
1.       Dari segi arsitektur: masjid masjid di pulau Jawa memiliki desain yang berbeda dengan masjid di kawasan Islam lainnya.
2.       Dari segi ritual kegamaan: munculah ritual ritual asli Jawa yang diislamkan seperti upacara surtanah, nelung dino, mitung dino, matang puluh dino, nyatus, mendak pisan, mendak pindo,nyewu dan sebagainya.
3.       Dari segi seni: muncul wayang yang asli budaya Hindu diganti menjadi wayang khas Islam. Seperti kata Jamus kalimushada atau azimat Sahadat. Dan lain sebainya…
4.       Dari segi pendidikan munculah pendidikan ala pondok pesantren. Suatu lembaga pendidikan yang menurut Ki Hajar Dewantoro merupakan pendidikan khas corak Indonesia.
5.       Dari segi ekonomi. Para wali mengajarkan praktik perdagangan, pertanian dan pertukangan bukan suatu status rendahan yang ditetapkan oleh ajaran Hindu. Yang mereka membagi bagi manusia ke dalam beberapa kasta seperti
Brahmana, untuk pemimpin agama
Ksatria, untuk para raja dan keturunannya
Waisya, untuk para pedagang, serta
Sudra, untuk para kuli dan petani yang tak bertanah.
Para wali disini selain berstatus menjadi tokoh agama juga berprofesi sebagai pedagang. Dengan demikian secara tidaklangsung walisongo telah mencontohkan bahwa tidak ada sekat diantara masyarakat.
                Dalam perkembangannya masayarakat Jawa yang hidup di masa modern seperti saat ini masih bepegang teguh pada kebudayaan turun temurun. Mereka tidak bisa meninggalkan tradisispiritualnya seperti slametan, wetonan dengan membuat bubur abang putih agar mendapat keselamatan.
                Tetapi disisi lain ada juga adat istiadat jawa yang telah mengalami pergeseran sehingga dipandang tidak memiliki magis lagi. Tetapi hanya sekedar bernuansa seni. Seperti tarub, siraman, midodareni, kacar- kucur, dan lain lain.

Selasa, 17 April 2012

LIR ILIR


Kelompok 3
09410006        Farida Nur Hikmah
09410007        Yu’timaalahuyatazaka
09410075        Yuyus Juliana
09410080        Muhammad Alfian
09410102        Muh. Alfi Fajerin
09410105        Yuni Irawati
09410156        Anastasia Dansy Novitasari
09410166        Arip Febrianto
09410193        Aulia Fajri Purnamasari
09410199        Mustika Listivani
09410208        Shanti Sundari
09410216        Sulaekah
09410224        Iman Alimansyah
09410255        Wido Yufri Ashar
09410273        Samsul M. Habibi
09410274        Irma Yanti Zulaikah
09410283        Mu’arif Salam


LAGU LIR-ILIR
Tembang para Wali tanah Jawi
A.    Lirik Dan Makna Lagu Lir-Ilir
Lir-ilir
Lir-ilir  Lir Ilir,  Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo,   Tak sengguh temanten anyar

Cah Angon Cah Angon,  Penekno Blimbing Kuwi
Lunyu-lunyu penekno,  Kanggo Mbasuh Dodotiro

Dodotiro Dodotiro,  Kumitir Bedah ing pinggir
Dondomono Jlumatono,  Kanggo Sebo Mengko sore

Mumpung Padhang Rembulane, Mumpung Jembar Kalangane
Yo surako,,, surak,,,  Hiyo!!!


Lir-ilir, Lir-ilir (Bangunlah, bangunlah)
Tandure wus sumilir (Tanaman sudah bersemi)
Tak ijo royo-royo (Demikian menghijau)
Tak sengguh temanten anyar (Bagaikan pengantin baru)
Makna: Sebagai umat Islam kita diminta bangun. Bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat malas untuk lebih mempertebal keimanan yang telah ditanamkan oleh Alloh dalam diri kita yang dalam ini dilambangkan dengan Tanaman yang mulai bersemi dan demikian menghijau. Terserah kepada kita, mau tetap tidur dan membiarkan tanaman iman kita mati atau bangun dan berjuang untuk menumbuhkan tanaman tersebut hingga besar dan mendapatkan kebahagiaan seperti bahagianya pengantin baru.
Cah angon, cah angon (Anak gembala, anak gembala)
Penekno Blimbing kuwi (Panjatlah (pohon) belimbing itu)
Lunyu-lunyu penekno (Biar licin dan susah tetaplah kau panjat)
Kanggo mbasuh dodotiro (untuk membasuh pakaianmu)
Makna: Disini disebut anak gembala karena oleh Alloh, kita telah diberikan sesuatu untuk digembalakan yaitu HATI. Bisakah kita menggembalakan hati kita dari dorongan hawa nafsu yang demikian kuatnya?
Si anak gembala diminta memanjat pohon belimbing yang notabene buah belimbing bergerigi lima buah. Buah belimbing disini menggambarkan lima rukun Islam. Jadi meskipun licin, meskipun susah kita harus tetap memanjat pohon belimbing tersebut dalam arti sekuat tenaga kita tetap berusaha menjalankan Rukun Islam apapun halangan dan resikonya.
Lalu apa gunanya? Gunanya adalah untuk mencuci pakaian kita yaitu pakaian taqwa.
Dodotiro, dodotiro (Pakaianmu, pakaianmu)
Kumitir bedah ing pinggir (terkoyak-koyak dibagian samping)
Dondomono, Jlumatono (Jahitlah, Benahilah!!)
Kanggo sebo mengko sore (untuk menghadap nanti sore)
Makna: Pakaian taqwa kita sebagai manusia biasa pasti terkoyak dan berlubang di sana sini, untuk itu kita diminta untuk selalu memperbaiki dan membenahinya agar kelak kita sudah siap ketika dipanggil menghadap kehadirat Alloh SWT.
Mumpung padhang rembulane (Mumpung bulan bersinar terang)
Mumpung jembar kalangane (mumpung banyak waktu luang)
Yo surako surak iyo!!! (Bersoraklah dengan sorakan Iya!!!)

Makna: Kita diharapkan melakukan hal-hal diatas ketika kita masih sehat (di lambangkan dengan terangnya bulan) dan masih mempunyai banyak waktu luang dan jika ada yang mengingatkan maka jawablah dengan Iya!!!
B.     Fungsi Lagu Lir-Ilir
1.    Fungsi historis
Lagu lir-ilir berfungsi sebagai media untuk memahami atau mengetahui umat Islam pada saat Islam berkembang di tanah Jawa yang disebarkan oleh para Wali Songo.
2.    Fungsi dakwah
Sunan Kalijaga menciptakan lagu lir-ilir untuk menampaikan (berdakwah) kepada orang-orang Jawa dan menanamkan Aqidah yang kuat kepada mereka.
3.    Fungsi perubahan (moderniasasi)
Dalam lagu lir-ilir terdapat makna perubahan dari Islam yang kejawen menjadi kembali pada ajaran Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist.

C.    Nilai-Nilai Islam Yang Terkandung Dalam Lagu Lir-Ilir
Sunan Kalijaga menciptakan lagu lir-ilir untuk menyampaikan (berdakwah) kepada orang-orang Jawa dan menanamkan Aqidah Islamiyah yang kuat kepada mereka,  ketika itu taraf penyerapan dan implementasi agama Islam masih level pemula, layaknya penganten baru dalam jenjang kehidupan pernikahannya. Melalui tembang ini, Sunan Kalijaga memberi motivasi kepada orang-orang Islam ataupun yang baru masuk Islam untuk berusaha mempelajari dan mengaplikasikan ajaran Islam meskipun sulit dan banyak rintangan, karena masih diberi kesehatan dan banyak waktu luang untuk mempelajari mengamalkan ajaran Islam tersebut.


D.    Karakteristik Lagu Lir-Ilir Dalam Kategori Lagu Islami
Tembang Lir ilir bukan sekedar tembang dolanan biasa, tetapi tembang tersebut memiliki corak islami apabila dilihat dari makna tiap-tiap dimana mengandung makna yang sangat mendalam.

islam dan pergumulan budaya jawa ( moh. Taufiqurrahman) 09410237


RESENSI BUKU
Judul Buku             : Islam dan Pergumulan Budaya Jawa
Pengarang             : Prof. Dr. Simuh
Kota Terbit            : Yogyakarta
Penerbit                 : Teraju
Tahun Terbit         : 2003
Tebal Buku            : 214 + vi halaman

Islam dan Budaya Jawa
            Dalam buku ini dijelaskan bahwa budaya memiliki enam nilai, yang amat menentukan wawasan etika dan kepribadian manusia maupun masyarakat. Karena seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa budaya adalah proses atau  hasil krida, cipta, rasa, serta karsa manusia dalam dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya.
            Menurut Prof. Dr. Simuh dari keenam macam nilai budaya yang ada. Yaitu nilai teori ilmiah, nilai ekonomi, nilai agama, nilai seni, nilai solidaritas, dan nilai kedudukan. semuanya merupakan pilar yang menentukan konfigurasi kepribadian dan norma etik individu dan masyarakat. Tetapi untuk menciptakan keenam nilai tersebut dalam diri pribadi maupun masyarakat, itu merupakan suatu hal yang sulit. Maka tidak jarang terjadi hanya satu nilai dari keenam nilai tersebut yang paling dominan. Misalnya orang yang cenderung materialistis, maka dia hanya menerapkan nilai ekonomi dalam dirinya. Ada juga Orang  yang cenderung idealis dan rela berkorban harta, jiwa, dan raga demi pengembangan ilmiah, maka dia hanya menerapkan nilai teori/ilmiah saja dalam dirinya. Dan begitu juga dengan nilai - nilai yang lain, maka akan menimbulkan suatu kecenderungan atau kedentikan dalam kepribadian serta masyarakat. Dan salah satu dari keenam nilai tersebut, sudah tentu ada dalam unsur budaya.
            Dalam buku ini juga menjelaskan tentang suatu entitas mengenai budaya islam dan budaya umat islam, budaya islam adalah kebudayaan yang paripurna, dalam artian budaya islam bukanlah hasil karya, cipta, maupun karsa dari manusia didaerah tertentu, dalam hal ini lebih dikenal dengan budaya arab, melainkan produk dari Allah SWT.  Maka dari itu budaya islam tidak bisa berubah maupun dirubah oleh tangan manusia. Dan  budaya islam yang asli adalah sebuah budaya yang bersumber pada Al – qur`an dan hadis, sedangkan budaya umat islam atau lebih dikenal dengan budaya lokal adalah budaya yang dihasilkan dari dimana agama islam itu berdomisili. termasuk didalamnya ijtihad, penalaran ( dalil aqli ), dan lain sebagainya. Dengan kata lain budaya islam bersifat muthlaq sedangkan budaya local itu bersifat dinamis ( berkembang ). tetapi islam sangat toleran terhadap penalaran manusia. Jadi hal ini tidak menutup kemungkinan agama islam untuk terus maju berkembang sesuai dengan zaman dan ditempat dimana islam berdomisili. hal ini didukung oleh pendapat A. Mukti Ali yang terangkum dalam ungkapan beliau " pendekatan ilmiah cum doktriner " atau dalam versi lain berupa budaya islam adalah budaya yang progesif.
            Dalam buku ini memberikan penekanan terhadap interaksi budaya jawa dengan agama islam atau budaya islam, dijelaskan bahwa pada awalnya suku  jawa sebelum terjamah oleh pengaruh hinduisme, menganut system religious berupa Animisme serta Dinamisme serta hokum adat sebagai pranata social mereka. Dengan aturan serta system religious tersebut mereka sudah mengalami suatu kenyamanan dan hidup secara teratur dibawah kepala adat. System religious Animisme serta Dinamisme tersebut memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap kebiasaan serta karakter / kepribadian pada masyarakat suku jawa misalnya ; ilmu magis, ilmu dukun, primbon, mantra, kepercayaan terhadap benda, dan lain - lain. Maka hal itu sebagai masalah yang besar bagi proses masuknya islam, karena kebiasaan – kebiasaan masyarakat jawa tersebut sangat bertentangan dengan al – qur`an dan hadis nabi, misalnya didalam islam sangat dilarang keras untuk percaya kepada benda – benda berpetuah, ilmu sihir ( magis dan dukun ).  Maka dari itu memang suatu keharusan dan tidak ada jalan lain untuk mengakomodir budaya – budaya jawa tersebut agar terjadi suatu interaksi budaya dan melahirkan sebuah akulturasi maupun asimilasi.
            Dalam pembahasan buku ini juga dijelaskan tentang bagaimana proses penyebaran islam ditanah jawa. Pada proses islamisasi ditanah jawa hak penuh dipegang oleh raja dikawasan daerah kesultanan, dengan kata lain bilamana rajanya masuk islam, maka rakyatnya juga ikut masuk islam. Dan apabila sang raja menolak maka rakyatnya pun sebagian besar ikut menolak. Dalam hal ini senada dengan proses islamisasi pada Babad tanah jawa yang dijelaskan bahwa, raja majapahit menolak agama islam, akibatnya rakyatnya pun juga menolaknya. Kemudian sasaran setelah kerajaan adalah daerah di pesisir – pesisir sehingga membuahkan hasil yang menggembirakan karena disana agama islam diterima dengan terbuka dan dan penuh gairah. Dan berkembang menjadi sebuah pesantren. Kemudian lambat laun, guru – guru tarekat dari pesisir ini menjadi raja – raja local. Dan atas jerih payah mereka kerajaan – kerajaan tersebut menjadi kerajaan yang besar. Seperti kerajaan demak, Surabaya, dan lain – lain.
            Dalam buku ini juga membahas tentang pola kaum muslim pada masyarakat jawa terbagi menjadi dua varian: yaitu islam – kejawen yang berarti pola beragama islam dengan meramu budaya pra masuknya islam  dengan agama islam, dan islam – santri yang berarti pola beragama islam secara taat dan murni dari alqur`an hadis.
                 Setelah saya membaca serta menganalisis buku ini, saya rasa buku ini mempunyai konsep yang sangat bagus yakni tentang bagaimana interaksi islam terhadap perkembangan budaya jawa. serta pembahasannya pun saya rasa cukup memahamkan karena bahasanya yang mudah dipahami. tetapi dalam buku ini terkadang saya mengalami miss pembahasan yang menurut saya fokus dari pembahasan itu terlalu melebar dan menjauh dari pembahasan awal. misalnya dalam pembahasan bab pertama dan kedua berbicara tentang islam dan budaya lokal kemudian bab tiga berbicara tentang budaya islam sufi kemudian bab empat baru berbicara tentang kebudayaan jawa. Dan menurut saya penekanan dalam pembahasan kurang.                 

            Demikian resensi saya mengenai buku ini, dari saya mengucapkan banyak mohon maaf atas kesalahan redaksi maupun pemikiran, apabila menimbulkan suatu hal yang kurang berkenan pada diri anda ………
!!!!!!!!!!semoga bermanfaat!!!!!!!!!!!!!

Senin, 16 April 2012

RESENSI BUKU Paradigma Kebudayaan Islam


Nama                           : Siti Nur Khomsah
Kelas                           : VI-PAI  F
NIM/No. Absen          : 09410261/38
Identitas buku:
Judul buku                  : Paradigma Kebudayaan Islam (studi kritis dan Refleksi  Historis)
 Pengarang                  : Dr. Faisal Ismail, MA
Penerbit                       : Titian Ilahi Press
Kota                            : Yogyakarta
Tahun                          : 1996
Tebal buku                  : 202 halaman
Buku yang berjudul Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis dan Refleksi Historis ini dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama secara umum menyoroti sosok dan situasi pendidikan kebudayaan Islam di Indonesia. Bagian ini memaparkan suatu analisis terhadap timbulnya krisis-krisis di bidang pendidikan dan kebudayaan yang dihadapi umat Islam. W.S Rendra mengemukakan dari hasil tesisnya bahwa salah satu krisis yang cukup memprihatinkan yang terjadi di kalangan umat Islam adalah “ mereka kurang bersahabat” dengan ilmu pengetahuan.
Seorang Dramawan, penyair dan budayawan ini ketika memenuhi undangan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw di Masjid IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1971 lalu, mengatakan tiga poin penting. Tiga poin itulah yang penting untuk dicatat agar menjadi bahan renungan dan introspeksi, menjadi bahan pemikiran yang serius, bagaimana ummat Islam dapat meletakkan dirinya pada proporsi sebenarnya sehingga ummat Islam bisa hadir secara fungsional dalam tata kehidupan masyarakat. Dengan demikian, maka ummat Islam” tidak menjadi kertas-kertas dan debu-debu jalanan, yang banyak beterbangan tetapi kurang berfungsi”. Untuk itu, maka ummat Islam harus mampu berusaha menjadi sahabat kemanusiaan lagi, yang bisa memberi “rahmat” bagi dunia secara universal, tanpa meromantisir diri sebagai dewa-dewa yang tidak boleh dijamah dan dikritk.
Akibat logis dari keadaan semacam ini akan bermuara pada kenyataan, bahwa prosentasi intelektual Muslim di Indonesia tak sebanding dengan jumlah ummat Islam. Situasi demikian memerlukan pemecahan. Salah satu cara yang penting dilakukan adalah dengan melakukan kajian ulang terhadap strategi kebudayaan; mengkaji ulang system pendidikan ( tatanan dan proses beljar mengajar) secara menyeluruh dan komprehensif sejak dari pendidikan dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Bagian ini diakhiri dengan sebuah studi kritis terhadap tesis-tesis kebudayaan yang diajukan Sidi Gazalba.
Bagian kedua memabahas tentang subordinasi agama terhadap kesenian atau sebaliknya, dimana kesimpulan yang didapat, menyatakan bahwa kesenian hendaknya harus dikaitkan dengan agama agar tidak terlalu liberal. Namun yang menjadi masalah ialah bagaimana mengatasi segi-segi negatifnya jika kesenian harus dihubungkan dengan agama. Ini memerlukan manajemen yang antara lain bisa dilakukan dengan adanya pemikiran kesenian dilingkungan keagamaan; ikut serta dalam perkembangan kesenian dan pemikiran dunia. Pemahasan ini dilengkapi dengan sebuah diskusi tentang bagaimana seharusnya seniman Muslim memandang, menghayati, mendekati dan menafsirkan Tuhan. Dapatkah Tuhan, Malaikat atau Nabi diimajinasikan atau dipersonifikasikan menurut daya khayal penggambaran sang seniman? Dapatkah seorang seniman Muslim memiliki cara dan menafsirkan sendiri mengenai Tuhan dengan cara semaunya sendiri?
            Memang dalam islam, Allah, Nabi dan Malaikat dilarang divisualisasikan. Dalam Islam Allah dilarang dipersonifikasikan dan diimajinasikan, sebab Allah terlalu Agung dan Maha Suci sifat dan Zat-Nya. Malaikat, menurut ajaran Islam dilarang untuk digambarkan dan diimajinasikan. Islampun melarang menggambarkan dan mengimajinasikan Nabi dalam bentuk patung, lukisan dan gambar, karena selain merupakan penyimpangan dari akidah Islam, juga dikhawatirkan, orang akan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan akidah Islam seperti pemujaan terhadap patung beliau, pengkeramatan dan kultus yang memang tidak dibenarkan dan dilarang oleh Islam. Tuhan tidak bisa ditafsirkan dengan dengan tafsiran semaunya sendiri. sebab Tuhan tidak bisa dicapai dengan akal fikiran manusia bagaimanakah Zat-Nya, Hakikat-Nya, Wujud-Nya ataupun rupa-Nya.
            Untuk menjadi seorang seniman, tidak perlu melepaskan dan mencampakkan agama. Karena dalam setiap agama ( apalagi agama Islam) jelas mengandung nilai-nilai dan kualitas seni( kesenian). Dalam agama Islam misalnya, orang tidak diharamkan mengembangkan seni-budaya, bahkan islam dengan ajaran-ajarannya selalu mendorong dan memberikan motivasi kuat untuk menumbuhkan dan mengembangan sesuatu yang berguna bagi pengembangan dan pengukuhan spiritualitas semacam seni-budaya.  selalu mendorong dan memberikan motivasi kuat untuk menumbuhkan dan mengembangan sesuatu yang berguna bagi pengembangan dan pengukuhan spiritualitas semacam seni-budaya. Pengembangan dan pengukuhan spiritualitas lewat seni budaya harus melewati suatu proses logis bahwa ia tidak bertentangan dan tidak berlawanan dengan nilai-nilai islam.
            Bagian ketiga memaparkan tentang Islam dalam kaitannya dengan moralitas dan modernitas. Bagaimana posisi Islam berhadapan dengan pergeseran nilai-nilai moral yang terjadi di dunia Barat, yang pengaruhnya dirasakan juga disekitar kita. Badai “ Moralitas Baru” atau moral tanpa agama yang datang dari dunia Barat ini kini sudah melanda dunia Timur, termasuk Indonesia. Karena sifat dan coraknya yang menganggap bahwa apa saja boleh, maka moralitas baru ini mendatangkan akibat dan gangguan-gangguan moral. Seperti realita yang ada pada masa sekarang ini seperti kehidupan malam, pornografi dalam segala bentuknya, homoseksualisme dan lesbianisme yang sudah pula muncul sana sini dan mode pakaian wanita yang semakin mini dan semakin seksi. Demikianlah gangguan-gangguan dibidang moralitas yang terjadi di Tanah Air, hingga menyebabkan kerusakan moral dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam masyarakat kota-kota besar yang lebih cepat menerima pengaruh dari luar karena dibawa oleh lajunya perkembangan system komunikasi modern.
            Terdapat perbedaan esensial antara Istilah modenisasi dengan westernisasi, tetapi seringkali disalah artikan. Modernisasi bukan Westernisasi. Modernisasi adalah suatu usaha secara sadar menyesuaikan diri dengan konstelasi dunia, dengan mempergunakan kemajuan ilmiah, material dan mental untuk kebahagiaan hidup kita sehari-hari sebagai perorangan bangsa atau umat manusia. Sedangkan Westernisasi adalah mengadaptasi gaya hidup Barat, meniru-niru dan mengambil alih tata cara hidup Barat.
            Bagaimanapun moderennya kehidupan dan kebudayaan sebagai hasil modernisasi, manusia Muslim Indonesia harus tetap menjadi manusia Indonesia, harus tetap menjadi Muslim bagaimanapun modernnya sebagai bangsa, ummat Islam harus tetap menjadi orang Islam yang melaksanakan ajaran agama. Agama yang membimbing pemeluknya menjadi ornag Islam seutuhnya dan  menjadi manusia muslim paripurna.
            Bagian keempat diawali dengan sketsa sejarah kebangkitan kebudayaan Islam ( abad 8 hingga 13 M). Setelah menikmati masa-masa keemasan  kejayaannya selama kurang lebih lima abad, ummat Islam Arab dan kebudayaannya beralih ke tangan barat. Pada masa abad 8 hingga permulaan abad 13 Masehi, umat islam mencapai puncak kejayaan, dimana Daulah islamiyah di Barat( Daulah Umayyah) yang berpusat di Cordoba yang keduanya memperlihatkan berbagai kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Lebih jauh lagi bab ini menjelaskan sejarah kebudayaan Islam di Andalusia, yang sangat maju pada masa itu. Kemajuan yang sangat pesat terjadi dalam ilmu pengetahuan (science). Khalifah-khalifah yang membawa kemajuan ialah Abdurrahman I (Abdurrahman Addakhil), Abdurrahman III dan Al hakam.
Islam memberikan perubahan yang sangat signifikan terhadap kebangkitan kebudayaan barat. Pada masa dinasti Abbasiyah dan dinasti Ummayah inilah dunia barat mulai mempelajari  ilmu-ilmu pengetahuan dan banyak pula yang berguru pada Ummat Islam pada waktu itu. Mereka dengan tekun belajar bahasa Arab untuk dapat menerjemahkan buku-buku pengetahuan. Situasi-situasi ini membawa kemajuan pada dunia Barat yang akhirnya melemahkan dunia Islam.
Kemajuan dunia Barat mengakibatkan semakin jauhnya dengan Tuhan. Peradaban Barat pada hakikatnya merupakan peradaradaban sekuler dan lebih menekankan kepada urusan dan kepentingan duniawi, meninggalkan nilai-nilai moral dan agama. Peradaban ini akan hancur dan muncullah peradaban baru yang murni dengan ajaran agama (Islam).
Sebenarnya kebangkitan ummat Islam dan kebangkitannya tergantung kepada Ummat Islam sendiri, tergantung kepada amal-amal cultural yang dilakukannya. Tanpa usaha dari Ummat Islam sendiri, kebangkitan kebudayaan hanya merupakan harapan dan pengandaian. Dalam hubungannya dengan masa depan Islam, maka ummat Islam semestinya berbuat, bekerja keras, memperkaya karya budaya dalam segala aspek hidup dan kehidupan ummat dalam member arti bagi manusia dan kemanusiaan.

Minggu, 15 April 2012

RESENSI BUKU SENI DI DALAM PERADABAN ISLAM


Nama               :           Winda permana sari
Nim                 :           09410134

Judul Buku : Seni di Dalam Peradaban Islam
Pengarang : Muhammad Abdul Jabbar
Kota Terbit : Bandung
Penerbit : Pustaka
Tahun Terbit : 1988
Tebal Buku : 153 halaman
Cetakan : 1

Kedudukan seni dalam kebudayaan islam yang di karang oleh Muhammad Abdul Jabbar ini cukup lengkap pembahasannya. Dalam daftar isinya antara lain : kedudukan seni dalam kebudayaan, keindahan menurut al-ghozali, music religius islam, muslim dan tashwir, kehalalan seni lukis dimasa awal islam, seni rupa muslim, islam dan arsitektur, corak islam dalam arsitektur spanyol dan amerika latin.
Pada bab Kedudukan Seni dalam Kebudayaan Islam, menyimpulkan bahwa setiap negara Islam, memiliki kebudayaan nasionalnya, dan demikian pula semua negara. Islam memiliki peradaban Islam yang umum. Seni Islam adalah pernyataan dari peradaban, dan bukan pernyataan kebudayaan.
Pada bab Keindahan Menurut AlGhazali, di dalamnya terdapat gagasan yang mempunyai pengaruh yang sama atau bahkan lebih besar dari tulisan keagamaan yang lainnya. Namun demikian, kehadiran buku karangan AlGhazali itu sangat penting dan mesti dipertimbangkan di dalam penilaian kita tentang seni Muslim.
Pada bab Musik Religius Islam, menyimpulkan bahwa dengan nyanyian atau musik religi, kita akan memperoleh kegembiraan sosial dan kepuasan religi dalam nyanyian bersama.Setiap orang melahirkan (mengungkapkan) makna religi yang dalam dengan paduan suara yang mendesak di tengah-tengah rakyat banyak.
Pada bab Pertentangan Pendapat Mengenai Gambar dalam Peradaban Islam (Muslim dan Tashwir, Kehalalan Seni Lukis dalam Masa Awal Islam), menyimpulkan bahwa kaum muslim telah memecahkan masalah mereka terhadap soal gambar, dan mengganti haluan pemikiran mereka pada suatu saat dan untuk selamanya terhadap pertanyaan yang mereka butuhkan tentang lukisan Islam. Para siswa yang menekuni peradaban Islam tidak dapat mengabaikan warisan lukisan yang indah dari para seniman Muslim pada masa klasik dan masa sesudah masa klasik.
Pada bab Seni Rupa Muslim, menyimpulkan bahwa obsesi kaum Muslim terhadap abstraksi merupakan hasil ajaran Islam, dan hal itu menemukan bentuk ekspresi utamanya dalam kerinduan mistis pada Tuhan. Psikologi yang diajarkan Islam meresap dan memanifestasikan dirinya dalam setiap lingkungan seninya. Bagian yang lebih besar yang  dimainkan oleh gagasan mistis dalam puisi. Volume puisi mistis dan kepopuleran mistikisme dalam semua pokok Islam adalah sejalan, yaitu semangat yang mengekspresikan dirinya sendiri dalam semua jalandi mana para genius Muslim mencoba untuk menemukan suatu ekspresi.
Pada bab Islam dan Arsitektur, menyimpulkan bahwa hubungan Islam dan arsitektur adalah; pertama, di seluruh dunia Muslim, kesatuan arsitektural merupakan salah satu segi dari kesatuan umat di bawah Islam, karakteristik gaya-gaya arsitektur yang terdapat di seluruh dunia Muslim itu dilengkapi dan diilhami oleh Islam, merupakan suatu kekurangan yang mengerikan apabila Islam mengabaikan pengaruh arsitektur masyarakatnya. Kedua, pihak yang berpandangan keliru, yaitu orang Muslim dan orientalis yang berpegang teguh pada tesis: bahwa tidak ada hubungan antara Islam dan arsitektur.
Pada bab terakhir, Corak Islam dalam Arsitektur Spanyol dan Amerika Latin, menyimpulkan bahwa dalam bidang seni dan arsitektur, hasil praktis dari adanya gerakan kebudayaan tersebut berupa penyempurnaan corak serta tema artistik, yang secara intim menafsirkan cita-cita Islam ke dalam rinci-rinci (details) pembuatan barang kerajinan serta arsitektur.
Setelah membaca buku Seni di Dalam Peradaban Islam, manfaat yang dapat diambil yaitu kita dapat mengetahui tentang bagaimana kedudukan seni dalam kebudayaan Islam, buku tersebut memberikan berbagai macam informasi tentang corak kebudayaan Islam, gagasan para filosof dan seniman Muslim, hubungan antara seni dan Islam, serta pendapat lain tentang seni dalam Islam.
Kelebihan buku ini yaitu, Membahas kedudukan seni dalam kebudayaan Islam secara lengkap. Bahasa yang digunakan mudah dipahami oleh pembaca dan terdapat arti kata asing.
Kekurangan buku ini yaitu penulisan footnote secara lengkapnya tidak menjadi satu halaman dengan kata yang dikutip dari buku referensi. Mungkin hanya itu kelebihan dan kekurangan dari buku ini.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons