Jumat, 13 April 2012

RESENSI BUKU Maesaroh


RESENSI BUKU
PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, DAN MASYARAKAT MADANI DI INDONESIA
Maesaroh Mardani (09410149)
1.   Identitas Buku

Judul Buku           : Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia
Penulis                   : Prof. Dr. H. A . R . Tilaar, M.Sc. Ed.
Penerbit                 : PT Remaja Rosdakarya
Cetakan                 : Pertama, Agustus 1999
                                      Kedua, Mei 2000
                                      Ketiga, Oktober 2002
Kota Terbit            : Bandung
ISBN                      : 979-514-861-3
Halaman                : 251 Lembar
Tebal Buku           : 1,5 cm


PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, DAN MASYARAKAT MADANI DI INDONESIA


A.    Hakekat Pendidikan
Dari sudut pandang pendekatan epistemologis pendidikan dilihat sebagai sesuatu  yang inheren dalam konsep manusia. Artinya, manusia hanya dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan. Pandangan yang lain lagi ialah proses pendidikan berkenaan dengan objek dari  proses tersebut adalah peserta didik. Tingkah laku proses pendewasaan peserta didik merupakan objek dari ilmu pendidikan. Sedangkan dari sudut pandang pendekatan ontologis atau metafisik menekankan kepada hakikat keberadaan, dalam hal ini keberadaan pendidikan itu sendiri. Keberadaan pendidikan tidak terlepas dari keberadaan manusia. Oleh karena itu, hakikat pendidikan ialah berkenaan dengan hakikat manusia. Dalam pendekatan ini keberadaan peserta didik dan pendidik tidak terlepas dari makna keberadaan manusia itu sendiri. Berbagai pendekatan mengenai hakikat pendidikan dapat digolongkan atas dua kelompok besar  yaitu:
a)      Pendekatan Reduksionisme
Ø Pendekatan pedagogisme ( Menganggap bahwasanya anak itu lahir sudah mempunyai kemampuan-kemampuan, dan kita tinggal mengembangkannya / Nativisme )
Ø Pendekatan Filosofis ( Ilmu Pendidikan melihat hakikat anak sebagai titik tolak proses pendidikan )
Ø Pendekatan Religius ( Hakekat Pendidikan menekankan kepada pendidikan untuk mempersiapkan peserta didiknya ke kehidupan akherat )
Ø Pendekatan Psikologis ( Mereduksi Ilmu Pendidikan menjadi ilmu belajar dan mengajar )
Ø Pendekatan Negativis ( segala sesuatu seakan-akan telah tersedia di dalam diri anak yang akan tumbuh dengan baik apabila tidak dipengaruhi oleh hal-hal yang merugikan pertumbuhan anak tersebut )
Ø Pendekatan Sosiologis ( Hakikat Pendidikan itu kepada keperluan hidup bersama dalam masyarakat )
b)     Pendekatan Holistik Integratif
Hakekat Pendidikan adalah suatu proses menumbuhkembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasioanla, dan global. Hakekat Pendidikn tersebut mempunyai komponen-komponen sebagai berikut:
Ø  Pendidikan merupakan suatu proses kesinambungan ( Pendidikan tidak behenti berkembang ketika peseta didik menjadi dewasa tetapi akan terus menerus berkembang selama terdapat interaksi antara manusia dengan lingkungan)
Ø  Proses Pendidikan berarti menumbuhkembangkan eksistensi manusia ( Keberadaan Interaktif )
Ø  Eksistensi Manusia yang Memasyarakat ( Adanya unsur Ibu, orang tua, pendidik formal, dan pendidik nonformal )
Ø  Proses Pendidikan dalam Masyarakat yang Membudaya ( Nilai – nilai yang perlu dihayati, dilestarikan, dikembangkan, dan dilaksanakan oleh masyarakat, kemudian memunculkan nilai-nilai baru)
Ø  Proses Bermasyarakat dan Membudaya mempunyai Dimensi-dimensi Waktu dan Ruang ( Mempunyai aspek-aspek Historis, Kekinian, dan Visi Masa Depan )
B.     Hakikat Kebudayaan
Inti dari setiap kebudayaan adalah manusia, dan kebudayaan adalah khas insani. Sedangkan objek dari pendidikan yaitu manusia. Berarti dapat disimpulkan bahwasanya afinitas pendidikan dan kebudayaan merupakan khas insani yang keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Afinitas mengenai pendidikan dan kebudayaan dapat kita lihat dalam rumusan Ernest Cassirer mengenai manusia sebagai animal simbolikum. Hanya manusialah yang mengenal dan memanfaatkan simbol-simbol didalam kelanjutan kehidupannya. Simbol-simbol itu dapat kita lihat dalam kebudayaan manusia. Antropolog, Leslie White juga menyatakan bahwa kebudayaan dilestarikan dan dikembangkan melalui simbol-simbol. Semua tingkah laku manusia terdiri dari, dan tergantung pada simbol-simbol tersebut. Memang simbol-simbol adalah bentuk universal dari kemanusiaan.
Setiap kebudayaan itu unik dan terus berkembang. Tidak ada suatu kebudayaan yang statis. Selain itu dalam setiap kebudayaan terdapat unsur-unsur universal yang berlaku untuk setiap anggotanya, dan ada pula unsur-unsur kekhususan yang dianut oleh segelintir anggota. Sebagai titik tolak analisis mengenai hakikat kebudayaan yang dapat digunakan sebagai titik tolak untuk mengerti hakikat pendidikan, Erward B. Taylor mendefinisikan “Budaya atau Peradaban” adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, serta kemampuan-kemampuan dan kebiasan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Ada tiga hal yang patut dicatat mengenai hakikat kebudayaan yaitu antara lain:
a)      Adanya keteraturan dalam hidup bermasyarakat.
b)      Adanya proses pemanusiaan.
c)      Di dalam proses pemanusiaan itu terdapat suatu visi tentang kehidupan.
Kebudayaan merupakan suatu proses pemanusiaan artinya didlam kehidupan berbudaya terjadi perubahan, perkembangan, motivasi. Di dalam proses pemanusiaan tersebut yang penting bukan hanya prosedur dan teknologi tetapi juga jangan dilupakan isi atau materi dari perubahan dan perkembangan. Jadi dapat disimpulkan bahwa kebudayaan itu memberikan petunjuk atau menjadi pengarah dari proses humanisasi. Kebudayaan memberi arah bagi perkembangan pribadi dalam bentuk struktur, dinamik yang ada dan arah dari kebudayaan tersebut di dalam lingkungan sesama.
C.     Kebudayaan dalam Pendidikan dan sebaliknya.
Gejala pemisahan pendidikan dari kebudayaan dapat kita lihat dlam hal sebagai berikut:
a)      Kebudayaan telah dibatasi pada hal-hal yang berkenaan dengan kesenian, tarian tradisional, kepurbakalaan termasuk urusan candi-candi dan bngunan-bngunan kuno, makaam-makam, dn sastra tradisional.
b)      Nilai – nilai kebudayaan dalam pendidikan telah dibatasi pada nilai-nilai intelektual belaka.
c)      Nilai-nilai agama bukanlah urusan pendidikan tetapi lebih merupkan urusan lembaga-lembaga pendidikan.
Dalam urusan kenegaraan memang ada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, unsur kebudayaan di dalam lembaga pemerintahan tersebut menjadi sangat kabut oleh karena hanya terbatas pada urusan kesenian, kepurbakalaan, dan bahasa. Seperti kita ketahui bahwasanya kebudayaan mengandung tujuh unsur universal yang telah dirumuskan oleh Koentjaraningrat yaitu : sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan. Dengan demikian memisahkan pendidikan dari kebudayaan merupakan suatu kebijakan yang merusak perkembangan kebudayaan sendiri, malahan mengkhianati keberadaan proses pendidikan sebagai proses pembudayaan. Selain itu rumusan yang dinyatakan Ki Hadja Dewantara juga menyatakan bahwa “ Kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari Pendidikan bahkan kebudayaan merupakan alas atau dasar pendidikan”. Rumusan ini sungguh menjangkau jauh ke depan. Disini dikatakan bukan hanya pendidikan itu dialaskan kepada suatu aspek kebudayaan yaitu aspek intelektual, tetapi kebudayaan sebagai keseluruhan. Kebudayaan yang menjadi alasan pendidikan tersebut haruslah bersifat kebangsaan. Dengan demikian kebudayaan yang dimaksud yang riil yaitu budaya yang hidup di dalam masyarakat kebangsaan Indonesia.dan Pendidikan mempunyai arah yaitu untuk mewujudkan keperluan perikehidupan. Perikehidupan disini bukannya hanya suatu aspek daripada kehidupan manusia tetapi seluruh kehidupan manusia. Arah tujuan pendidikan ialah untuk mengangkat derajat negara dan rakyat. Pendidikan diarahkan untuk menanggulangi kebodohan dan kemiskinan. Dengan demikian Pendidikan Nasional merupakan pengabdian kepada perubahan kehidupan rakyat. Oleh sebab kebudayaan merupakan dasar  dari praktis pendidikan maka bukan saja seluruh proses pendidikan berjiwakan kebudayaan nasional, tetapi juga seluruh unsur kebudayaan harus diperkenalkan dalam proses pendidikan. Hal ini berarti program pendidikan yang harusnya diterapkan itu adalah pendidikan yang komprehensif yang menuntut suasana pendidikan berbudaya yang dapat diwujudkan secara efektif di dalam sistem pondok. Sistem pondok adalah sarana untuk mempersatukan pendidikan ilmu pengetahuan dengan pendidikan budi pekerti serta nilai-nilai budaya lainnya. Dengan sistem tersebut para calon pendidik akan dapat menghayati dan kelak dapat melaksanakan prinsip-prinsip kebudayaan di dalam praktis pendidikan. Para guru profesional masa depan menuntut kesatuan di dalam kepribadiannya bukan hanya menguasai ilmu pengetahuan dan bagaimana mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik, tetapi juga para tersebut merupakan resi modern yaitu seorang intelektual, profesional, dan pemimpin yang perlu dan dapat digugu.

D.     Masyarakat Madani di Indonesia
        Pendidikan dalam masyarakat madani Indonesia tidak lain ialah proses pendidikan yang mengakui akan hak-hak serta kewajiban perorangan di dalam masyarakat. Dalam suatu masyarakat yang demokratis, hak-hak dan kewajiban tersebut merupakan batu landasan dari masyarakat. Masyarakat demokratis hanya ada apabila hak-hak dan kewajiban waga negaranya diakui, dikembangkan, dan dihormati. Seperti dalam kaitannya dengan pembentukan negara sebagai wujud kerjasama antar pribadi, maka lembaga-lembaga kehidupan bersama (pranata-pranata sosial) berfungsi untuk menghormati dan mengembangkan hak-hak demokratis tersebut.
        Sudah tentu proses pendidikan di dalam masyarakat demokratis tersebut mengakui adanya identitas masyarakat atau bangsa Indonesia yang berbudaya. Di dalam interaksi antara perkembangan kepribadian dengan kebudayaannya, bahwa proses pengembangan pribadi tersebut melihat manusia itu bukan sekedar menyerap unsur-unsur kebudayaannya secara pasir, tetapi manusia itu merupakan makhluk dinamis. Dinamisme kepribadian di dalam cipta, karsa, dan rasa secara keseluruhan merupakan sumber perkembangan kebudayaan.
        Proses pendidikan yang berakar dari kebudayaan, berbeda dengan praksis pendidikan yang terjadi dewasa ini yang cenderung mengalienasikan proses pendidikan dari  kebudayaan. Kita memerlukan suatu perubahan paradigma dari pendidikan nasional untuk menghadapi proses globalisasi dan menata kembali kehidupan Indonesia. Cita-cita era reformasi tidak lain ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia. Oleh sebab itu paradigma baru pendidikan nasional diarahkan terbentuknya masyarakat madani Indonesia tersebut.
2. Kelebihan dan Kekurangan Buku
1)   Kelebihan
Buku karangan M. Tilaar ini isinya cukup menarik dan cakupan materinya cukup luas dan mendalam. Selain itu urut-urutan dalam penjabaran per bab itu juga berurutan secara baik, tidak acak-acakan. Bahsa yang dipergunakan juga baik dan benar sesuai EYD, kata-katanya mudah dipahami, tidak begitu banyak kata-kata asing yang dipakai, sehingga pembaca itu tidak kesusahan dalam memaknai uraian materi tersebut. Pengarang cukup kreatif dan inovatif juga dalam memaparkan per bab dalam pokok pembahasan.

2)   Kekurangan
Kekurangan dari buku ini adalah, dalam penyampaian materi yang akan dipaparkan itu alur periwayatannya belibet, terkesan ruwet, dan tidak teratur. Misalnya saja tema yang sudah dibahas didepan tadi dibahas di akhir lagi dengan masuk tema yang berbeda, sehingga kesannya itu membuat pembaca bingung dalam mengartikannya dan menghayati dari maksud yang terkandung dalam tulisan.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons